...Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H.... Mohon maaf lahir dan batin...

Rabu, 14 Januari 2015

Saatnya kita bertekad untuk tidak impor jeruk lagi

Mengapa Kita Masih Mengimpor Jeruk?

jeruk
Banjir buah impor yang kini dengan mudah diperoleh di pedagang kaki lima mengindikasikan makin tidak berdayanya buah domestik menghadapi gempuran buah dari luar negeri yang menjadikan Indonesia sebagai pasar utama. Marilah kita ambil studi kasus pada buah jeruk; volume impor jeruk selama 2012 sebesar Rp 1,7 Trilyun atau 179 ribu ton (BPS 2013). Produksi jeruk Indonesia sendiri rata-rata setiap tahun sejak 2004 – 2012 sebanyak 2 juta ton. Artinya, impor jeruk sekitar 10% dari produksi nasional. Namun yang terjadi di pinggir jalan, pasar tradisional bahkan supermarket yang sering kita jumpai justru buah jeruk impor.
Di mana buah jeruk Indonesia? Apa benar angka impor sebesar itu? Lalu apa saja yang menyebabkan kita masih mengimpor jeruk?
Pertama, Ketersediaan Jeruk Lokal tidak dapat Memenuhi Kebutuhan Pasar Domestik Sepanjang Tahun.
Buah Jeruk menjadi salah satu buah yang sangat diminati oleh masyarakat Indonesia. Diantaranya yang paling populer adalah jeruk keprok (mandarin) yang dikonsumsi sebagai buah segar. Jeruk Keprok rasanya manis, segar, harga relatif murah, dan mudah didapat dimana saja, kapan saja di seluruh pelosok negeri. Ketersediannya hampir sepanjang tahun. Berikut ditampilkan perbandingan masa panen jeruk Indonesia (siam, keprok dan pamelo) dan masa panen jeruk di luar negeri. (Hanif, Zainuri dan Lizia Zamzami, 2012)
Tabel 1. Perbandingan masa panen sentra produksi jeruk Indonesia dengan negara produsen jeruk dunia lainnya.
tabekperbandinganmasapanen1

Umumnya periode panen buah jeruk di Indonesia dimulai dari bulan Februari hingga September dengan puncaknya terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli seperti terlihat pada Tabel 1. Karena tujuan pemasaran utama jeruk hanya ke kota-kota besar di Jawa terutama Jakarta dan Surabaya, maka pada bulan puncak panen, harga buah jeruk di tingkat petani sering menjadi sangat murah, bahkan bisa mencapai di bawah Rp 1.000/kg. Di sisi lain, gudang penyimpanan dingin yang ada belum mampu menampung kelebihan produk dari petani (untuk buah impor tidak ada masalah), Padahal cool strorage importir sanggup menyimpan buah selama 6-12 bulan. Sedangkan pabrik olahan skala rumah tangga maupun industri belum banyak dibangun saat ini.
Pola panen tersebut memperlihatkan bahwa ketersediaan jeruk lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar domestik sepanjang tahun, sehingga membuka peluang masuknya jeruk-jeruk impor. Dari sisi waktu panen, periode awal dan akhir tahun di berbagai propinsi sentra jeruk tidak mengalami panen, namun justru di luar negeri terjadi panen raya dan stok buah melimpah.
Kedua, Kemungkinan Data Jeruk Nasional yang Tidak Akurat
Standar konsumsi buah yang ditetapkan Food and Agriculture Organization of United Nation (FAO), yakni sebesar 65,75 kilogram per kapita per tahun, sementara konsumsi buah masyarakat Indonesia masih rendah yaitu 32,67 kg per kapita per tahun (Kompas, 2010). Jika 10% saja dari jumlah standar FAO tersebut adalah buah jeruk, yaitu sebanyak 6 kg per kapita per tahun, maka dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa akan dibutuhkan 1.422.000 ton/tahun. Jika produktivitas jeruk nasional sekitar 20 ton/ha maka dibutuhkan kebun jeruk seluas 71.110 hektar. Kebutuhan 1.422.000 ton/tahun sanggup dipenuhi 2.131.768 ton (data produksi nasional 2010). Jadi seharusnya Indonesia masih bisa melakukan ekspor sebesar 709.768 ton. Namun pada tahun 2010 lalu Indonesia masih impor jeruk 160 ribu ton dan terus meningkat di tahun 2012 menjadi 179 ribu ton. Apa yang salah di sini? Ada kemungkinan validitas data yang perlu dikritisi (di Kementerian Pertanian dan BPS) atau ada kendala teknis lainnya seperti distribusi yang terkendala infrastruktur yang membuat data terlihat tidak masuk akal. Ketidakakuratan data dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan termasuk dalam mengeluarkan RIPH (Rekomendasi Impor Produk Holtikultura).
Ketiga, Kendala Pengembangan Program Keproknisasi Nasional
“Program Keproknisasi Nasional” telah dicanangkan oleh Direktorat Jendral Hortikultura, (Dirjen Hortikultura) Kementerian Pertanian melalui Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Beberapa langkah yang menjadi langkah operasional adalah 1) Arah pengembangan jeruk keprok melalui pemantapan areal yang sudah ada maupun pengembangan areal baru;  2) Jenis atau varietas jeruk keprok yang akan dijadikan unggulan nasional; 3) Kontinyuitas pasokan buah jeruk dengan kualitas buah prima; 4) Kesiapan pengelolaan pasca panen (sortasi, grading, pengepakan dan pengiriman); dan 5) Kesiapan Gapoktan dan Penyuluh dalam merealisasi program keproknisasi (Hardiyanto, 2012)
Program Keproknisasi Nasional ini perlu dikawal dan disempurnakan agar berhasil tercapai. Serangan hama dan penyakit yang menyebar di Karo (Sumut), Sambas (Kalbar), Lebong (Bengkulu) dan berbagai daerah lainnya menunjukkan kawalan teknologi yang ada tidak optimal. Apalagi saat pengembangan ini masih dilakukan, data produksi yang dirilis resmi oleh Kementan menunjukkan stagnan bahkan terjadi penurunan produksi pada tahun 2004 – 2011.
Jangan malu untuk berbenah. Pemerintah harus mengakui programnya selama ini berlum berhasil. Prospek pengembangan agribisnis jeruk masih menjanjikan. Banyak petani yang sudah merasakannya. Infadhil, petani jeruk Keprok Batu 55 di Dau, kabupaten Malang salah satu contohnya. Dengan lahan ¼ ha, modal 20 juta untuk 200 tanaman usia 5 tahun, setahun bisa menghasilkan Rp 80 juta. Segala masalah dari hulu sampai hilir, dari perbenihan sampai pemasaran perlu diurai dan dicarikan solusinya. Indonesia mampu untuk mengurangi bahkan mengekspor jeruk yang nyata-nyata bisa tumbuh dan berkembang baik di tanah air. Berbeda dengan apel, stroberi, kiwi dan buah subtropis lainnya yang optimal di negara empat musim.

Oleh : Zainuri Hanif, Staf Peneliti Balitjestro, Badan Litbang Kementerian Pertanian

Daftar Pustaka
Basis Data Statistik Pertanian. http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp.  Diakses 11 April 2013
BPS 2013. http://www.bps.go.id/exim-frame.php?kat=2. Diakses 11 April 2013
Federal Bureau of Statistics, Government of Pakistan, Karachi. Citrus Marketing Strategy. Pakistan Horticulture Developement & Export Board. May 2005.
Hanif, Zainuri dan Lizia Zamzami. 2012. Trend Jeruk Impor dan Posisi Indonesia sebagai Produsen Jeruk Dunia. Prosiding Workshop Rencana Aksi Rehabilitasi Agribisnis Jeruk Keprok SoE yang Berkelanjutan untuk Substitusi Impor. Halaman 107-114. Badan Litbang Pertanian, Dirjend Hortikultura dan ACIAR.
Hardiyanto, 2011. Mampukah Jeruk Keprok Nasional Kita Menggeser Jeruk Impor?http://balitjestro.litbang.deptan.go.id/id/374.html. Diakses 11 April 2013.
Sumber : http://gopanganlokal.miti.or.id/index.php/artikel-terkini/9-pangan-dan-ekonomi/27-mengapa-kita-masih-mengimpor-jeruk

Bisnis Jeruk dalam Globalisasi dan Perlindungan Petani


PENGARUH GLOBALISASI DAN UPAYA PEMERINTAH DALAM MELINDUNGI PETANI JERUK SIAM


Nurlaili Irmawati

Mahasiswa Program Studi Agribisnis, Fak Pertanian Universitas Jember, Jember, email: kyuma_2810@yahoo.co.id

ABSTRACT

Indonesia termasuk dalam 10 besar negara penghasil jeruk di dunia. Namun indonesia bukan merupakan negara pengekspor jeruk, melainkan pengimpor jeruk no 2 seASEAN setelah Malaysia. Jeruk impor yang masuk kedalam negeri mayoritas berasal dari Cina. Apalagi setelah adanya ACFTA (Asean-Cina Free Trade Area) yang mengupayakan terbentuknya suatu sistem perdagangan bebas yang adil dan transparan antara negara Asia dan Cina dengan jalan menghilangkan segala bentuk hambatan yang mendistorsi pasar.  Sehingga tidak ada lagi proteksi dari pemerintah, baik berupa tarif maupun non-tarif. Semenjak diberlakukannya ACFTA, tarif impor hortikultura yang semula 20% diturunkan secara bertahap hingga saat ini tarif yang berlaku adalah 0%. Dengan begitu produk hortikultura Cina bebas masuk ke Indonesia dan menjadi raja di pasar domestik. Keadaan itu diperparah dengan tidak adanya undang-undang yang secara jelas mengatur tentang impor hortikultura. Pada keadaan seperti ini, petani lah yang dirugikan, karena petani harus bersaing dengan petani Cina yang telah mengadopsi inovasi teknologi. Untuk mengatasi keadaan seperti ini, petani harus dipersiapkan terlebih dahulu, agar memiliki daya saing untuk menghadapi globalisasi.

Keywordsproteksi, tarif, non-tarif, teknologi, globalisasi

1.       PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
          Indonesia merupakan negara besar yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan prsoes pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. 
Pertanian dalam arti sempit dinamakan pertanian rakyat sedangkan pertanian luas meliputi pertanian sempit, kehutanan, peternakan dan perikanan[17]. Cuaca dan iklim di Indonesia sangat mendukung untuk kegiatan pertanian Indonesia.

          Pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan. Para petani mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan itu dalam usahatani (farm).Kegiatan-kegiatan produksi didalam setiap usaha tani merupakan suatu kegiatan usaha (bussines), dimana biaya dan penerimaan itu penting. Pertanian memiliki unsur-unsur yaitu: proses produksi, petani, usahatani, usahatani sebagai perusahaan [10]. Definisi menurut Mosher di atas adalah definisi pertanian dalam arti sempit. Definisi pertanian dalam arti luas adalah kegiatan yang menyangkut perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan pertanian itu sendiriPertanian di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian, yakni tanaman pangan, tanaman perkebunan dan hortikultura. Tanaman pangan terdiri dari padi, jagung, kedelai; tanaman perkebunan terdiri dari kelapa sawit, karet, kakao; hortikultura terdiri dari pisang, jeruk, bawang merah, anggrek, dan lain-lain.

          Hortikultura berasal dari kata “hortus” (= garden atau kebun) dan “colere” (= to cultivate atau budidaya). Secara harfiah istilah Hortikultura diartikan sebagai usaha membudidayakan tanaman buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Sehingga Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari budidaya buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Sedangkan dalam GBHN 1993-1998 selain buah-buahan, sayuran dan tanaman hias, yang termasuk dalam kelompok hortikultura adalah tanaman obat-obatan. Ditinjau dari fungsinya tanaman hortikultura dapat memenuhi kebutuhan jasmani sebagai sumber vitamin, mineral dan protein (dari buah dan sayur), serta memenuhi kebutuhan rohani karena dapat memberikan rasa tenteram, ketenangan hidup dan estetika[5].

          Keragaman komoditas hortikultura yang antara lain terdiri atas tanaman buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman berkhasiat obat menjadi modal dasar dalam pengembangan produk pertanian  tropis. Dibandingkan komoditas pertanian lainnya, produk hortikultura memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Dengan demikian, pengembangannya diharapkan berdampak nyata terhadap pendapatan masyarakat, penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomian nasional. Dalam rangka merebut pasar global, produk hortikultura nasional perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing yang tercermin dari peningkatan mutu, cita rasa, penampilan, keterjangkauan harga, keberlanjutan pasokan, keefisienan produksi dan perluasan jangkauan pasar.  

          Produk hortikultura merupakan produk masa depan yang eksotik dan sangat dibutuhkan secara berkelanjutan oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Potensi pasar  produk hortikultura sangat cerah, baik pasar domestik  maupun ekspor.  Cerahnya prospek pasar domestik ditunjang oleh tingginya jumlah penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia yang besar sesungguhnya merupakan peluang pasar domestik yang potensial apabila upaya promosi pentingnya mengkonsumsi produk hortikultura Indonesia yang meliputi apresiasi, pengetahuan dan taraf hidup masyarakat dapat ditingkatkan. Selain upaya promosi, dukungan pengelolaan rantai pasokan, perbaikan infrastruktur sehingga pemenuhan kebutuhan produk hortikultura dapat berjalan dengan lancar.

           Subsektor hortikultura berperan sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Berdasarkan sensus pertanian tahun 2003, jumlah rumah tangga hortikultura mencapai 8,4 juta rumah tangga dan menempati posisi kedua terbesar setelah subsektor Tanaman Pangan. Besarnya jumlah rumah tangga hortikultura menunjukkan bahwa subsektor ini berperan strategis dalam mensejahterakan masyarakat.  Produk hortikultura umumnya merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi, sehingga   pengembangan usaha hortikultura berpotensi besar dan berperan strategis dalam percepatan peningkatan pendapatan masyarakat  atau percepatan penurunan angka kemiskinan di dalam negeri. Selain itu produk hortikultura mempunyai potensi ekspor yang sangat besar khususnya produk-produk tropis yang bersifat eksotik, misalnya Manggis, Salak, Mangga, Anggrek, Daun potong, Jamur, dan Temulawak. Selain memberikan kontribusi positiif terhadap perekonomian nasional,  subsektor hortikultura berperan dalam penyediaan gizi yang bermanfaat bagi kesehatan masyarakat. Peningkatan konsumsi produk hortikultura diharapkan berdampak positif terhadap meningkatnya pertumbuhan usaha budidaya hortikultura di tanah air [8].

          Pengelolaan hortikultura sebagai sumberdaya yang unik dan memiliki potensi bagi segenap aspek; ekonomis, kesehatan, lingkungan,  budaya, perlu diatur sedemikian agar dapat tergali dan terberdayaakan secara optimal dan berkelanjutan. Pengaturan dan pengelolaan yang tidak terintegrasi bukan saja menurunkan potensi hortikultura namun juga menimbulkan kerugian yang tidak sederhana. Dalam pengembangan dan pengelolaan hortikultura setidaknya terdapat  3 (tiga) fungsi yang harus diperhatikan yakni fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Fungsi ekonomi hortikultura  yaitu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan perekonomian nasional.  Fungsi ekologi, yakni ikut membantu kelestarian lingkungan hidup dan meminimalkan pemanasan global dan meningkatkan kualitas kehidupan. Adapun fungsi sosial yaitu meningkatkan interaksi masyarakat, memelihara kearifan lokal,  mengembangkan budaya adiluhung, pemahaman dan penghayatan tentang  pentingnya hortikultura untuk estetika, kesehatan jasmani dan rohani [8].

          Hortikultura adalah komoditas yang akan memiliki masa depan sangat cerah menilik dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya dalam pemulihan perekonomian Indonesia waktu mendatang. Oleh karenanya kita harus berani untuk memulai mengembangkannya pada saat ini. Seperti halnya negara-negara lain yang mengandalkan devisanya dari hasil hortikultura, antara lain Thailand dengan berbagai komoditas hortikultura yang serba Bangkok, Belanda dengan bunga tulipnya, Nikaragua dengan pisangnya, bahkan Israel dari gurun pasirnya kini telah mengekspor apel, jeruk, anggur dan sebagainya[5].

          Potensi pengembangan hortikultura sangat besar mencakup keanekaragaman varietas dan kondisi tanah-agroklimat sangat kondusif bagi untuk kegiatan produksi berbagai jenis buah-buahan,  sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka.  Namun di lain pihak kegiatan produksi tersebut belum diiringi dengan perbaikan mutu produk hortikultura sesuai dengan permintaan pasar. Salah satu upaya untuk peningkatan mutu produk hortikultura yang sesuai dengan permintaan pasar adalah penanganan pasca panen yang didukung dengan penerapan teknologi dan sarana yang efisien, mudah diaplikasikan oleh petani dan terjangkau.

          Peningkatan produksi dan mutu produk merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk dapat meningkatkan daya saing hortikultura di dalam negeri. Introduksi teknologi sebagai komponen utama di dalam peningkatan daya saing belum berjalan optimal. Selain itu penyediaan prasarana dan  sarana  pasca panen berjalan lambat,  akibatnya mutu produk yang diperoleh petani tidak sesuai dengan standar yang diinginkan. Permasalahan yang dijumpai di lapangan yang terkait dengan rendahnya daya saing produk hortikultura di Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Penerapan teknologi budidaya (on farm) dan pasca panen hortikultura sampai saat ini masih kurang berkembang.
  2. Terbatasnya sarana dan prasarana antara lain alat panen, alsin sortasi,  pengangkutan/transportasi berpendingin, cold    storage, grading dan packaging house.
  3. Kurangnya sumber daya manusia yang terampil dalam pengelolaan dan pengoperasian sarana dan prasarana   hortikultura. 
  4. Tingginya biaya untuk mengakses sarana/prasarana pendukung.

           Salah satu contoh tanaman hortikultura adalah jeruk. Jeruk merupakan komoditas buah yang cukup menguntungkan untuk diusahakan. Agribisnis jeruk, jika diusahakan dengan sungguh-sungguh terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan petani, dan dapat menumbuh-kembangkan perekonomian regional serta peningkatan pendapatan nasional. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, yang relatif masih tinggi dan peningkatan kesadaran akan gizi masyarakat, maka diperkirakan kebutuhan buah jeruk nasional pada tahun 2010 untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam negeri, mencapai 3.483.095 ton atau sekitar 1,5 kali dari produksi nasional tahun 2005. Peningkatan produksi jeruk nasional dapat ditingkatkan dengan pengembangan areal baru dan peningkatan produktivitas dan kualitas kebun jeruk [12].

          Tanaman jeruk tersebar di seluruh Indonesia, dengan sentra produksi utama terdapat di propinsi Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sekitar 70-80% jenis jeruk yang dikembangkan petani masih merupakan jeruk siam, sedangkan jenis lainnya merupakan jeruk keprok dan pamelo unggulan daerah seperti keprok Garut dari Jawa Barat, keprok Sioumpu dari Sulawesi Tenggara, keprok Tejakula dari Bali, dan keprok Kacang dari Sumatera Barat, pamelo Nambangan dari Jatim dan Pangkajene merah dan Putih dari Sulawesi Selatan; sedangkan jeruk nipis banyak diusahakan di Jawa Timur dan Kalimantan Timur[12].

            Saat ini bayak orang menyebutkan jeruk siam garut, jeruk siam palembang, jeruk siam klaten, jeruk siam semboro dn lain sebagainya. Munculnya nama-nama tersebut mungkin untuk mempermudah orang untuk mengetahui tempat asal tumbuhnya. Keanekaragaman nama jeruk siam tersebut menggambarkan luasnya persebaran jeruk siam. Tidak ada perbedaan signifikan antara jeruk siam garut, jeruk siam palembang, jeruk siam klaten atau pun jeruk siam semboro, apabila ada perbedaan, mungkin itu disebabkan oleh proses adaptasi terhadap tempat tumbuhnya.

           Produktivitas usahatani jeruk nasional cukup tinggi, yaitu berkisar 17-25 ton/ha dari potensi 25-40 ton per ha. Data impor buah jeruk segar dan olahan cenderung terus meningkatPada tahun 2005, impor buah jeruk segar mencapai 72.300 ton sedangkan ekspornya sebesar 2.000 ton, atau sejak tahun 1998 masing-masing meningkat sebesar 21,91% dan 11,31% per tahunBerdasarkan data produksi buah jeruk Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2006luas panen jeruk Indonesia mencapai 72.370 ha  dengan  total  produksi  sebesar  2.625.543  ton. Indonesia telah masuk di jajaran 10 besar produsen jeruk dunia (Tabel 1), bahkan Indonesia menduduki peringkat dua setelah Cina (Tabel 2). Artinya, selain sebagai pasar potensial, Indonesia juga harus dipertimbangkan sebagai produsen jeruk dunia di pasar global.

Tabel 1. Posisi Indonesia Sebagai Produsen Jeruk Dunia
No
Negara
Produksi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Brazil
USA
Cina
Mexico
Spanyol
Italia
Mesir
Turki
Argentina
Indonesia
20.576.000
10.395.000
14.985.000
6.490.000
5.103.000
3.285.000
2.688.000
2.450.000
2.430.000
2.214.019

Tabel 2. Posisi Indonesia sebagai Jeruk Kelompok Keprok Dunia
No
Negara
Produksi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Cina
Indonesia
Spanyol
Brazil
Jepang
Iran
Thailand
Mesir
Italia
Turki
11.395.000
2.150.219
1.944.600
1.270.000
1.100.000
720.000
670.000
665.000
661.823
585.000

          Pengembangan usaha hortikultura menghadapi tantangan berat dalam persaingan global sehingga perlu kebijakan yang strategis dan operasional. Globalisasi perdagangan menuntut peningkatan daya saing produk hortikultura Indonesia. Hal ini tercermin dari adanya WTO (World Trade Organization), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang telah ditandatangani seperti, Asean-Cina (Asean-China Free Trade Area), AFTA (Asean Free Trade Area), AANZ (Asean Australian New Zealand), Indonesia – Malaysia, IJ-EPA (Indonesian Japan Economic Partnership Agreement).

          Sehubungan dengan hal tersebut diatas, peraturan-peraturan yang terkait dengan tarif menjadi tidak populer lagi dan tidak digunakan sebagai hambatan dalam sistem perdagangan internasional. Oleh sebab itu kebanyakan negara menggunakan hambatan non tarif  seperti, SPS (Sanitary and Phytosanitary), ROO (Rules of Origin), dan standar internasional (Codex, Europe-Gap, Asean Standard), CBD (Convetion on Biodiversity), CDM (Clean Development Mechanism), Protokol Kyoto, Internatinal Threaty of Genetic Resources. Akibatnya produk hortikultura Indonesia mengalami: 1) Hambatan dalam mengakses pasar internasional; 2) Kesulitan dalam mengendalikan masuknya produk-produk impor.

          Dulu pemerintah punya kewibawaan terhadap pasar, kini kuasa pasar menyingkirkan peran pemerintah. Tapi itu pilihan pemerintah sendiri. Pemerintah pasca Orde Baru secara konsisten memilih liberalisasi pertanian adalah cara terbaik. Pasar bebas di terapkan, bea masuk diturunkan, subsidi petani satu persatu dilucuti, sampai instrumen pengendali harga seperti Bulog diubah menjadi perusahaan pedagang pangan. Intervensi pemerintah untuk stabilisasi harga pangan menjadi tidak efektif lagiLiberalisasi pasar pertanian telah berlangsung lama. Sektor hortikultura adalah bentuk telanjang dari liberalisasi pasar pertanian. Lihat saja, impor buah dan sayuran membanjir pasaran dalam negeri. Konsistensi membuka lebar pasar tidak disertai dengan peningkatan kapasitas dan pembenahan sektor ini, dari hulu ke hilir [3].

           Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya buah segar dan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia berdampak pada meningkatnya jumlahbuah-buahan yang diminta. Salah satu permintaan buah yang meningkat adalah permintaan jeruk manis. Meningkatnya permintaan masyarakat terhadap jeruk manis tersebut tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal saja, sehingga kita mengimpor jeruk untuk memenuhi permintaan tersebut. Namun usaha pemenuhan permintaan tersebut membuat buah lokal kita semakin tersudut. Hal ini disebabkan kualitas jeruk impor yang lebih baik daripada jeruk lokal memiliki harga yang lebih murah. Apalagi jika perdagangan bebas diterapkan akan membuka keran imporjeruk masuk dengan mudah. Kajian mengenai dampak globalisasi  terhadappendapatan petani jeruk siam di Indonesia menjadi diperlukan, sehingga dapat diketahui pendapatan petani jeruk siam di Indonesia akibat pengaruh globalisasi dan peran pemerintah untuk melindungi petaninya.

1.2. Permasalahan
1.     Bagaimana pengaruh globalisasi terhadap pendapatan petani jeruk siam?
2.     Bagaimana peran pemerintah dalam melindungi petani jeruk siam di era globalisasi?

1.2.  Tujuan Penulisan
1.     Mengetahui pengaruh globalisasi terhadap pendapatan petani jeruk siam.
2.     Mengetahui peran pemerintah dalam melindungi petani jeruk siam di era globalisasi.
3.     Meningkatkan kualitas jeruk siam sehingga jeruk siam mampu bersaing dengan jeruk-jeruk yang didatangkan dari negara lain.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1  Jeruk Siam
Jeruk siam merupakan anggota jeruk keprok yang mempunyai nama ilmiah Citrus Nobilis var. Microcarpa. Dinamakan jeruk siam karena memang berasal dari Siam (Muangthai). Dinegeri asalnya jeruk ini dikenal dengan nama som kin wan. Sampai saat ini sebenarnya belum ada data resmi tentang kapan dan dimana tepatnya jeruk siam pertama kali didatangkan ke Indonesia. Budidaya jeruk siam di Kalimantan Barat mulai dirintis pada tahun 1940 di Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas, oleh seorang warga negara asing (Cina). Kemudian usaha budidaya ini diteruskan oleh H.A. Rani dan Lim Kun Sin di Desa Bekut< Kecamatan Tebas. Sampai sekarang daerah ini menjadi sentral produksi jeruk siam di Kalimantan Barat.

Keberhasilan para pelopor membuat tanaman jeruk siam terus berkembang. Di Tebas, hingga tahhun 1952-1953 luas daerah penanamannya telah mencapai 1000 ha. Lima tahun berikutnya jeruk siam asal Tebas dihadang oleh jeruk asal Garut. Kekalahan jeruk siam asal Kalimantan terletak pada sarana dan prasarana angkutan serta kualitas produksinya. Kaibat kondisi persaingan yang tidak teratasi, banyak petani banyak petani yang membongkar tanaman jeruknya dan mengganti dengan kelapa atau padi. Sikap petani tersebut menyebabkan lahan jeruk berkurang menjadi sekitar 350 ha pada tahun 1972-1973.

Keadaan diatas sebenarnya mulai diperbaiki pada pelita I. Saat ini jeruk siam mulai dikembangkan kembali di Kalimantan Barat, hal itu dikarenakan jeruk Garut dihantam penyakit CVPD. Sampai sekarang daerah Kalimantan Barat merupakan daerah terbesar yang memproduksi  jeruk siam. Aspek budidaya tanaman jeruk siam sangat mempengaruhi keberhasilan pada proses produksi jeruk siam. Adapun aspek tersebut berupa syarat tumbuh meliputi curah hujan, sinar matahari, angin, suhu, kelembaban udara dan kondisi tanah yang baik untuk tanaman jeruk siam. Selain itu, faktor-faktor eksternal yang juga harus diperhatikan adalah bibit jeruk siam, pengolahan tanah, proses penanaman dan pemeliharaanserta hama dan penyakit pada jeruk siam.

a.         Syarat Tumbuh
Untuk pertumbuhan yang baik, jeruk siam memerlukan syarat tumbuh tertentu: syarat tumbuh tersebut meliputi ketinggian tempat, jenis tanah, pH dan iklim yang terdiri dari suhu, kelembaban, curah hujan dan lain-lain. Memang jeruk siam bisa ditanam dimana saja, tetapi hasilnya tidak akan memuaskan seperti apaila kita menanam dilokasi yang sesuai dengan syarat tumbuhnya.

Jeruk siam memerlukan ketinggian tempat yang hampir sama dengan daerah asalnya. Di Muangthai jeruk ini ditanam di dataran rendah. Hal ini juga berlaku di Indonesia. Untuk mendapatkan hasil yang baik, jeruk ini sebaiknya di tanam pada ketinggian kurang dari 700 mdpl. Ketinggian tempat berpengaruh jelas terhadap rasa. Penanaman pada ketinggian lebih dari 900 mdpl menyebabkan rasa buah jeruk siam menjadi lebih sedikit asam.

Setelah menemukan ketinggian tempat yang sesuai, langkah selanjutnya adalah memilih jenis tanah yang cocok. Jeruk siam memerlukan jenis tanah yang gembur (banyak mengandung pasir) dan subur (banyak mengandung oksigen dan bahan organik/humus).  Selain itu, jeruk siam juga menyukai air tanah yang tidak terlalu dalam (tidak lebih dari 1,5 m). Kedalaman air tanah yang paling baik adalah sekitar 50 cm dan 1.5 cm. Jeruk siam tidak tahan terhadap air tergenang karena mudah mengundang penyakit akar, namun jeruk siam juga memerlukan air yang cukup untuk pertumbuhan dan pembentukan bungan serta buah.

Jeruk siam membutuhkan pH antara 5-7,5, sedangkan hasil maksimum diperolah pada pH sama dengan 6. Pada tanah yang berpH di bawah kisaran tersebut, tanaman jeruk memperlihatkan gejajala yang sama dengan defesiensi unsur hara yakni daun menguning dan buahnya tidak bisa berkembang dengan baik. Sedangkan pada tanah yang mempunyi pH diatas kisaran tersebut, tanaman jeruk memperlihatkan gejala seperti kekurangan unsur borium pada pucuk-pucuk daun. Jika terpaksa harus menanam pada tanah diluar kisaran pH tersebut, maka perlu dilakukan netralisai lahan.

Iklim yang cocok untuk mananam jeruk siam adalah iklim tipe B dan C, berdasarkan penggolongan Smith dan Fergusson. Idealnya, pada iklim ini curah hujan optimal sekitar 1500 mm per tahun. Disamping itu, jeruk siam memerlukan banyak sinar matahari. Jenis jeruk ini memberikan hasil yang optimum di daerah kering dengan pengeturan pengairan (irigasi) yang bik. Hal ini berhubungan dengan banyaknya sinar matahari yang dibutuhkan. Sebagai patokan, daerah penanaman jeruk siam sebaiknya menerima penyinaran matahari antara 50-60% dengan perbedaan suhu siang dan malam lebih dari 10%. Masalah kelembaban juga cukup berpengaruh. Udara yang lembab menimbulkan lebih banyak serangan scale insect ( kutu perisai)dan kutu-kutu penghisap lainnya. Daerah-daerah sentral jeruk di Indonesia rata-rata mempunyai kelembaban antara 50-85%.

b.         Bibit
Ciri-ciri bibit yang baik ditandai dengan daun-daunnya yang hijau segar dan tampak rimbun, batangnya kuat dan kokoh, serta pertumbuhan cabangnya seimbang. Selain itu, bibit harus terbebas dari hama dan penyakit, terutama penyakit CVPD. Untuk lebih mudahnya, sebaiknya dicari bibit yang bersertifikat karena kriteria untuk mendapatkan sertifikasi bibit dapat menjadi indikasi mutu bbit. Bibit dikatakan cukup umur untuk ditanam ketika berumur 3-4 bulan setelah dipotong dari dahan untuk bibit cangkokan, 8 bulan untuk bibit okulasi dan 1 tahun untuk bibit yang berasal dari setek dan biji.

c.          Pengolahan Tanah
1.         Penyesuaian pH Tanah
pH tanah yang disukai jeruk siam adah 5-7,5. Oleh karena itu sebelum dilakukan penanaman bibit, pH tanah harus diperiksa terlebih dahulu. Bila lahan memiliki pH dibawah 5 atau diatas 7,5, Maka perlu adanya pengapuran. Pengapuran memiliki 2 fungsi yakni untuk menaikan dan juga untuk menurunkan pH tanah, hanya saja berbeda pada bahan pengapurnya.
Banyak jenis kapur yang dapat digunakan untuk menaikan pH tanah yakni kalsit dan dolomit. Jumlah kalsit dan dolomit tergantung pada tingkat keasaman tanah. Menurut pengalaman praktis, kebutuhan kalsit untuk lahan kering sebanyak 4 ton/ha, sedangkan untuk lahan gambut sekitar 19 ton/ha.

Untuk tanah yang ber pH di atas kisaran pH yang diinginkan jeruk siam, maka pH tanah harus diturunkan terlabih dahulu. Penurunan pH bisa dilakukan dengan pemberian tepung belerang (sulfur) atau tepung gipsum. Pemberian tepung atau belerang dilakuakan saat pengolahan tanah dengan cara ditaburkan dipermukaan tanah. Untuk menurunkan Ph dari derajat basa sampai ke netral dibutuhkan gipsum sekitar 6 ton/ha.

2.         Jarak dan Pola Tanam
Pertumbuhan jeruk siam cenderung melebar, sehingga diperlukan jarak tanam yang cukup lebar, yakni 6X6 m, 7X7 m, atau 8X8 m. Setelah jarak tanamnya ditentukan, dilanjutkan dengan penentuan pola barisannya. Pola barisan ada bermacam-macam diantaranya segi tiga sama sisi, segi tiga sama kaki, belah ketupat, persegi panjang dan bujur sangkar.

d.         Penanaman dan Pemeliharaan
Penanaman bibit jeruk pada lubang tanam yang sudah disiapkan sebaiknya dilakukan bila curah hujan cukup, atau apabila curah hujan kurang bisa dilakuakn penyiraman. Setelah menanam, tentunya pemelihaan tidak kalah pentingnya. Adapun teknik pemeliharaan yang dibutuhkan adalah pelebaran terumbuk, pembuatan parit drainasepenyiraman, penyiangan, pemupukan, pemangkasan, penjarangan buah, pemberian penyangga pohon.

e.          Hama dan Penyakit
Macam-macam hama yang menyerang jeruk siam adalah: ulat penggerek daun, ulat bisul buah jeruk, Parlatoriazizyphus, Palatoria pergandii, Aonidiella aurantii, aspidiotus destruktor, Aphis taveresi, Asterolecanium striatum, Coccus viridis, Lepidosaphis becki, Pseudococcus hispidus, Citripestis sagittiferella, Tenuipalpus sp,Tylenchus semi-panetrans, lalat jeruk. Adapun penyakit yang sering ditemukan pada jeruk siam adalahpenyakit CVPD, penyakit akar, penyakit embun tepung, penyakit antraks buah, penyakit busuk phoma, penyakit busuk buah oospora, penyakit jamur upas.
               
2.1.2   Teori Penawaran
Penawaran adalah jumlah barang yang produsen ingin tawarkan (jual) pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu. Faktor-faktor yang menentukan tingkat penawaran adalah harga jual barang yang bersangkutan, serta faktor-faktor lainnya yang dapat disederhanakan sebagai faktor non harga. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran akan suatu barang yaitu harga barang itu sendiri, harga barang yang terkait, harga faktor produksi, biaya produksi, tekhnologi produksi, jumlah pedagang, tujuan perusahaan dan kebijakan pemerintah[14].

Kurva penawaran menunjukkan berbagai jumlah barang yang seorang penjual bersedia menawarkan dengan berbagai harga, cateris paribus. Dalam keadaan ini, maka kurva tersebut menaik dari kiri bawah ke kanan atas (perhatikan Gambar 1). Kurva ini merupakan pembatas dimana semua yang diatasnya mungkin terjadi dan yang di bawahnya tidak. Pada setiap tingkat harga, penjual bersedia menjual barang tetapi mereka tidak dapat dirangsang untuk menjual lebih. Dari segi jumlah, maka kurva penawaran menunjukkan harga minimum  yang mendorong penjual untuk menjual berbagai jumlah. Kurva penawaran didefinisikan suatu kurva yang menunjukkan kaitan antara harga barang tertentu dan jumlah barang tersebut yang ditawarkan [4].

         
[14]Hukum penawaran merupakan hubungan antara harga dengan jumlah barang yang ditawarkan. Sedangkan dalam kenyataannya, banyaknya penawaran terhadap sesuatu barang juga ditentukan oleh banyak faktor lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, harga faktor produksi, biaya produksi, teknologi produksi, jumlah pedagang, dan kebijakan pemerintah.
a)    Harga Barang Itu Sendiri
        Jika harga suatu barang naik, maka produsen akan cenderung menambah jumlah barang yang dihasilkan. Berlaku hukum penawaran, yang menjelaskan sifat hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah barang tersebut yang ditawarkan penjual. Hukum penawaran menyatakan “semakin tinggi harga suatu barang, cateris paribus, semakin banyak jumlah barang tersebut yang ingin ditawarkan oleh penjual dan sebaliknya”.
b)    Harga Barang Lain yang Terkait
        Apabila harga barang subtitusi naik, maka penawaran suatu barang akan bertambah dan sebaliknya. Sedangkan untuk barang komplemen, dapat kita nyatakan bahwa apabila harga barang komplemen naik, maka penawaran suatu barang berkurang dan sebaliknya.
c)     Harga Faktor Produksi
        Kenaikan harga faktor produksi akan menyebabkan produsen dalam memproduksi outputnya lebih sedikit dengan jumlah anggaran yang tetap. Kenaikan harga faktor produksi ini juga akan mengurangi laba perusahaan.
d)    Biaya Produksi
        Kenaikan harga input sebenarnya juga mengakibatkan kenaikan biaya produksi. Dengan demikian bila biaya produksi meningkat, maka produsen akan mengurangi hasil produksinya berarti penawaran barang itu berkurang.
e)     Teknologi Produksi
        Kemajuan tekhnologi menyebabkan penurunan biaya produksi dan menciptakan barang-barang baru. Kemajuan teknologi akan menyebabkan kenaikan dalam penawaran barang.
f)     Jumlah Pedagang atau Penjual
        Apabila jumlah pedagang atau penjual suatu produk tertentu semakin banyak, maka penawaran barang tersebut akan bertambah.
g)     Kebijakan Pemerintah
        Kebijakan pemerintah yang memihak pada produsen tentu akan meningkatkan penawaran dari suatu produk, misalnya mengurangi impor kedelai.             

Fungsi penawaran adalah penawaran yang dinyatakan dalam hubungan matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bentuk persamaan matematis yang menjelaskan hubungan antara tingkat penawaran dengan faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran.
                Sx = f(Px, Py, C, tek, ped, kebij)
Dimana : Dx          = penawaran akan barang X
                  Px         = harga X
      Py         = harga Y (barang subtitusi atau komplementer)
                  C          = biaya produksi
                  tek         = teknologi
                  ped       = jumlah pedagang
                  kebij     = kebijakan pemerintah

2.1.3   Teori Permintaan
                Permintaan terhadap sesuatu barang dapat dilihat dari dua sudut, yaitu permintaan yang dilakukan oleh seseorang/individu tertentu dan permintaan yang dilakukan oleh semua orang dalam pasar atau permintaan pasar. Untuk memperoleh kurva permintaan pasar, kurva permintaan berbagai individu dalam pasar harus dijumlahkan[18].

               Permintaan pasar merupakan generalisasi dari konsep permintaan konsumsi, yang didefinisikan sebagai kuantitas alternatif suatu komoditi yang mana semua konsumen di pasar tertentu ingin dan mampu membeli pada berbagai tingkat harga dan semua faktor lain dipertahankan konstan. Hubungan permintaan pasar dapat dinyatakan sebagai jumlah dari hubungan permintaan individual. Suatu perubahan harga menghasilkan perubahan jumlah konsumen yang membeli sama seperti perubahan kuantitas yang dibeli per konsumen [16].     

              Permintaan konsumen didefinisikan sebagai berbagai kuantitas suatu komoditi spesifik yang dikehendaki dan dibeli pada berbagai tingkat harga di mana semua faktor lain yang mempengaruhi dianggap konstan. Hubungan permintaan hanya mendefinisikan hubungan murni antara harga dan kuantitas yang dibeli per unit waktu sementara faktor lain dianggap konstan. Permintaan pasar merupakan generalisasi dari konsep permintaan konsumen. Permintaan pasar didefinisikan sebagai alternatif kuantitas yang mana semua konsumen di suatu pasar tertentu ingin dan mampu membeli pada berbagai tingkat harga dan semua faktor lainnya dipertahankan tidak berubah. Hubungan permintaan pasar dapat diartikan sebagai penjumlahan hubungan permintaan individual. Perubahan harga menyebabkan perubahan jumlah konsumen yang membeli dan juga perubahan kuantitas yang dibeli oleh tiap konsumen [16].

                Hukum permintaan menjelaskan sifat perkaitan di antara permintaan suatu barang dengan harganya. Hukum permintaan pada hakekatnya merupakan suatu hipotesa yang menyatakan semakin rendah harga suatu barang, makin banyak permintaan atas barang tersebut, sebaliknya semakin tinggi harga suatu barang, makin sedikit permintaan atas barang tersebut. Kurva permintaan didefinisikan sebagai suatu kurva yang menggambarkan sifat perkaitan antara harga suatu barang tertentu dan jumlah barang yang diminta para pembeli. Jumlah barang yang diminta dimaksudkan sebagai banyaknya permintaan pada suatu tingkat harga tertentu (perhatikan Gambar 2). Kurva permintaan berbagai jenis barang pada umumnya menurun dari atas ke kanan bawah. Kurva yang bersifat demikian disebabkan oleh sifat perkaitan di antara harga dan jumlah yang diminta yaitu mereka mempunyai sifat hubungan yang terbalik [16].

               [14]Hukum permintaan terutama memperhatikan sifat hubungan antara sesuatu barang dengan jumlah barang yang diminta. Sedangkan dalam kenyataannya, banyaknya permintaan terhadap sesuatu barang juga ditentukan olehbanyak faktor lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan diantaranya adalah harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, tingkat pendapatan per kapita, selera atau kebiasaan,  dan jumlah penduduk.
  1. Harga Barang Itu Sendiri --> Jika harga suatu barang semakin murah, maka permintaan terhadap barang itu bertambah. Begitu juga sebaliknya. Hal ini membawa kita ke hukum permintaan, yang menyatakan “bila harga suatu barang naik, cateris paribus, maka jumlah barang itu yang diminta akan berkurang dan sebaliknya”.
  2. Harga Barang Lain yang Terkait --> Harga barang lain juga dapat mempengaruhi permintaan akan suatu barang, tetapi kedua macam barang tersebut mempunyai keterkaitan. Keterkaitan dua macam barang dapat bersifat subtitusi (pengganti) dan bersifat komplementer (pelengkap). Dalam hal ini, bila harga subtitusi barang B (barang A) meningkat, harga relatif  barang B menjadi lebih murah sehingga permintaan akan barang B meningkat.
  3. Tingkat Pendapatan Per Kapita -->  Tingkat pendapatan perkapita dapat mencerminkan daya beli. Makin tinggi tingkat pendapatan, daya beli makin kuat sehingga permintaan terhadap suatu barang meningkat.
  4. Selera atau Kebiasaa --> Selera atau kebiasaan juga dapat mempengaruhi permintaan suatu barang. Beras misalnya. Walaupun harganya sama, permintaan beras per tahun di Propinsi Maluku lebih rendah dibanding dengan di Sumatera Utara. Karena orang-orang Maluku lebih menyukai sagu (sejak kecil mereka makan sagu).
  5. Jumlah Penduduk --> Makin banyak jumlah penduduk pada suatu wilayah maka permintaan terhadap suatu barang juga akan semakin meningkat.
  6. Perkiraan Harga Di Masa Mendatang --> Bila kita memperkirakan bahwa suatu barang akan naik, adalah lebih baik membeli barng itu sekarang, sehingga mendorog orang untuk membeli lebih banyak saat ini guna menghemat belanja di masa mendatang.
  7. Usaha-Usaha Produsen Meningkatkan Penjualan --> Dalam perekonomian modern, bujukan para penjual untuk membeli barang besar sekali peranannya dalam mempengaruhi masyarakat. Pengiklanan memungkinkan masyarakat untuk mengenal suatu barang atau menimbulkan permintaan terhadap barang tersebut.

                 Fungsi permintaan adalah permintaan yang dinyatakan dalam hubungan matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan fungsi permintaan, maka kita dapat mengetahui hubungan antara variabel tidak bebas (dependent variable) dan variabel-variabel bebas (independent variable).

                 Bentuk persamaan matematis yang menjelaskan hubungan antara tingkat permintaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan.
                Dx = f (Px, Py, Y/cap, sel, pen, Pp, prom)
Dimana :  Dx        = permintaan akan barang X
Px        = harga X
Py        = harga Y (barang lain)
Y/cap  = pendapatan per kapita
sel        = selera
pen      =  jumlah penduduk
Pp       = perkiraan harga X periode mendatang
Prom   = upaya produsen untuk  meningkatkan    penjualan (promosi)      
        
2.1.4      Teori Biaya dan Pendapatan
              Pengeluaran usahatani sama artinya denganbiaya usahatani. Biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen dalam mengelola usahanya untuk mendapatkan hasil secara maksimal. Biaya usaha tani dapat diklasifikasikan menjadi biaya tetap dan biaya tidak tetap atau biaya variabel. Biaya tetap umumnya dianggap sebagai biaya yang  relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang dikeluarkan banyak atau sedikit. Sedangakan biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh[15].

                Pendapatan usaha tani merupakan selisih antara total penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan dalam usaha tani. Pendapatan usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut[15]:
 Ï€   = TR – TC
TR =P X Q
TC = FC + VC     
Keterangan:
         Ï€ = pendapatan petani
         TR = total penerimaan petani
         TC = total biaya yang dikeluarkan
         P    = harga
         Q   = produksi yang diperoleh
FC = biaya tetap
VC = biaya variabel

           Klasifikasi biaya penting dalam membandingkan pendapatan untuk mengetahui kebenaran jumlah biaya yang tertera pada pernytaan pendapata (income statement). Ada 4 kategori biaya yakni:
  1. Biaya tetap dimaksudkan sebagai biaya yang penggunaannya tidak habis dalam 1 masa produksi. Kelompok biaya ini antara lain meliputi: biaya tanah baik pajak maupun sewa, biaya pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, traktor dan lain sebagainya.
  2. Biaya variabel adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung pada skala produksi. Biaya yang tergolong dalam kelompok ini antara lain meliputi biaya pupuk, bibit, obat pembasmi hama penyakit, buruh atau tenaga kerja.
  3. Biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa biaya tntuk air dan pajak tanah. Sedangkan dalam biaya variabel antara lain adalah biaya untuk pembelian bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja luar keluarga.
  4. Biaya tidak tunai dari biaya tetap dapat berupa penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan pompa air dan traktor. Sedangkan biaya tidak tunai dari biaya variabel adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga.

2.1.5   Globalisasi
Kebijakan nasional pembangunan pertanian di suatu negara tentunya tidak lepas dari pengaruh faktor-faktor eksternal, apalagi dalam era globalisasi yang dicirikan adanya keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas, akan sulit ditemukan adanya kebijakan nasional pembangunan pertanian yang steril dari pengaruh-pengaruh faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan pangan nasional di Indonesia antara lain adalah; (i) kesepakatan-kesepakatan internasional, seperti WTO, APEC, dan AFTA; (ii) kebijakan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara mitra perdagangan Indonesia; (iii) lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia terutama dalam masa krisis [13].

Di lingkup internasional, banyak peraturan dalam bentuk kesepakatan internasional yang juga berpengaruh terhadap arah pengembangan hortikultura, seperti kesepakataan WTO di bidang pertanian, ACFTA (Asean China- Free Trade Agreement), CODEX  AlimentariusUnited Nations Convention on Biological Diversity, International Code of Conduct for Plant Germplasm Collecting and Tranfers, Leipzig DeclarationBonn Guidelines on Access to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefits Arising Out of their UtilizationJohannesburg Declaration on Sustainable DevelopmentCITES (Convention on International Trade in Endagered Species Wildlife Flora and Fauna), dan Protokol Kyoto.

Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural, dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional, tetapi juga investasi, keuangan, dan produksi[19].

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negaradengan pemerintah negara lain. Di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan GDP. [18]Manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut.
1.       Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya : Kondisi geografiiklim, tingkat penguasaan iptek dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
2.       Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
3.       Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusahatidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnyaharga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan produk tersebut keluar negeri.
4.       Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-caramanajemen yang lebih modern.

Faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut :
1.       Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri
2.       Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara
3.       Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologidalam mengolah sumber daya ekonomi
4.       Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.
5.       Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alamiklimtenaga kerja,budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasilproduksi dan adanya keterbatasan produksi.
6.       Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.
7.       Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.
8.       Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

Liberalisasi perdagangan dan investasi yang dibarengi dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi antar bangsa menuntut antisipasi yang cepat oleh setiap negara agar mampu bersaing dengan negara lain dalam bidang tersebut, baik dalam forum regional maupun internasional, seperti APEC, AFTA, dan WTO. Sementara itu, perwujudan era perdagangan bebas global (globally free trade), pada satu sisi, telah menjadi obsesi bagi sebagian negara, terutama negara-negara industri atau maju. Sebaliknya, bagi sebagian negara lainnya, terutama negara-negara yang keadaan ekonominya lemah, perdagangan bebas menjadi ancaman serius yang dapat semakin melemahkan keadaan dan kemampuan ekonominya. Namun demikian, mau tidak mau, cepat atau lambat, kelompok negara yang terakhir ini harus ikut dalam proses perdagangan bebas tersebut. Indonesia sebagai negara berkembang, yang mengalami krisis multidimensi dalam tiga tahun terakhir ini, termasuk kelompok negara kedua tersebut banyak dipertanyakan para ahli ekonomi dan ahli ekonomi-politik (political economy) mengenai kemampuan untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Krisis ekonomi telah mengangkat ke permukaan beberapa kelemahan penyelenggaraan perekonomian nasional. Berbagai distorsi yang terjadi pada masa lalu telah melemahkan ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi krisis,menimbulkan berbagai bentuk kesenjangan sosial, dan menghambat kemampuan untuk mengatasi krisis dengan cepat. Kurang meratanya penyebaran pelaksanaan pembangunan telah menimbulkan kesenjangan pertumbuhan antar daerah, antara perkotaan dan pedesaan, antar kawasan seperti kawasan barat dan kawasan timur Indonesia, maupun antar golongan masyarakat sehingga gejolak sosial menjadi sangat mudah terjadi [9].

[13]Salah satu aspek yang sangat signifikan dari perjanjian Putaran Uruguay dalam bidang pertanian adalah suatu perubahan dalam aturan-aturan main yang berkaitan dengan akses pasar, yang pada dasarnya adalah mengurangi segala macam distorsi yang diakibatkan oleh proteksi, baik dengan tarif maupun non-tarif (NTB), secara bertahap. Menurut kesepakatan tersebut, jenis proteksi yang bersifat kuantitatif tidak dibenarkan. Perlakuan proteksi terhadap sektor pertanian harus diterapkan secara non diskriminasi sesuai dengan asas most favoured nation treatment. Jadi, implikasinya terhadap Indonesia yaitu bahwa Indonesia harus membuka pasarnya bagi produk-produk pertanian dari negara-negara lain dengan cara mengurangi tarif impor secara bertahap, dan negara-negara lain juga harus melakukan hal yang sama terhadap komoditi-komoditi pertanian Indonesia. Perjanjian ini memuat komitmen dari semua negara anggota untuk menyusun daftar tarif dan rencana pelaksanaan pengurangan atau penghapusannya, dan melakukan konversi proteksi dalam bentuk Non-Tariff Barriers menjadi bentuk ekuivalen tarif pada tingkat proteksi yang setara.

Tarif merupakan suatu kebijakan perdagangan yang paling umum, adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Tarif spesifik (specific tariffs) dikenakan sebagai beban tetap atas unit barang yang diimpor (misalnya $3 untuk setiap barel minyak). Tarif add valorem (add valorem tariffs) adalah pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor (misalnya, tarif 25 persen atas mobil yang diimpor). Dalam  kedua kasus dampak tarif akan meningkatkan biaya pengiriman barang ke suatu negara[7].

3. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu melakukan kajian pustaka dan data yang ada. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi , gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki[11].

Judul yang saya ambil adalah pengaruh globalisasi dan upaya pemerintah dalam melindungi petani jeruk siam. Saat ini petani jeruk benar-benar mendapat sebuah tantangan, yakni adanya persaingan dengan jeruk impor, misalnya jeruk ponkam. Persaingan ini tentunya berpengaruh terhadap pendapatan petani jeruk siam. Hal ini terjadi karena adanya globalisasi. Meskipun saat ini pemerintah tidak dapat mengendalikan keadaan ini secara langsung, namun dalam hal ini peran pemerintah sangatlah penting, yakni dengan mendukung aspek-aspek lain yang nantinya akan membantu petani jeruk siam.

4. PEMBAHASAN
4.1 pengaruh globalisasi terhadap pendapatan petani jeruk siam
Pengembangan usaha hortikultura menghadapi tantangan berat dalam persaingan global. Globalisasi perdagangan menuntut peningkatan daya saing produk hortikultura Indonesia. Hal ini tercermin dari adanya WTO (World Trade Organization), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang telah ditandatangani seperti, Asean-Cina (Asean-China Free Trade Area), AFTA (Asean Free Trade Area), AANZ (Asean Australian New Zealand), Indonesia – Malaysia, IJ-EPA (Indonesian JapanEconomic Partnership Agreement).

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, peraturan-peraturan yang terkait dengan tarif menjadi tidak populer lagi dan tidak digunakan sebagai hambatan dalam sistem perdagangan internasional. Oleh sebab itu kebanyakan negara menggunakan hambatan non tarif  seperti, SPS (Sanitary and Phytosanitary), ROO (Rules of Origin), dan standar internasional (Codex, Europe-Gap, Asean Standard), CBD (Convetion on Biodiversity), CDM (Clean Development Mechanism), Protokol Kyoto, Internatinal Threaty of Genetic Resources. Akibatnya produk hortikultura Indonesia mengalami hambatan dalam mengakses pasar internasional dan mesulitan dalam mengendalikan masuknya produk-produk impor.

Saat ini impor  produk hortikultura terutama buah-buahan meningkat seiring dengan pemberlakuan perdagangan bebas Asean-China (Asean-China Free Trade Area/ACFTA). Data di Kemtan menyebutkan impor produk buah-buahan dari tahun ke tahun mningkat. Pada 2004 volume impor buah-buahan mencapai 355,2 ton senilai USD186,4 juta, 2005 naik menjadi 413,4 ton senilai USD234 juta, 2006 naik lagi menjadi 427,4 ton senilai USD337,5 juta, 2007 melonjak menjadi 502,1 ton senilai USD449,1 juta, dan 2008 menjadi 501,9 ton senilai USD 474,1 juta[2].

Data Departemen Perdagangan (Depdag) menunjukkan, impor jeruk mandarin dari China terus naik. Bahkan jeruk mandarin tercatat sebagai produk impor tertinggi ketiga dari China setelah laptop dan telepon seluler. Kepala Litbang Depdag Muchtar menyatakan, dari sisi kebijakan, Indonesia memang tidak memiliki alat untuk membatasi peredaran jeruk mandarin di pasar lokal. Di Indonesia tidak ada aturan khusus yang mengatur kuota impor untuk jeruk mandarin tersebutSejak kesepakatan penurunan tarif secara bertahap menuju FTA ASEAN-China diteken 2005, mulai 2007 tarif masuk jeruk mandarin China terus turun. Dari 20%, kini tarif bea masuk jeruk mandarin China sudah turun jadi 15%. Hal ini menyebabkan nilai impor jeruk mandarin China terus meningkat[1]Dari 13 komoditas, jeruk dan durian menempati urutan pertama dan kedua terbesar dalam impor buah-buahan. Pada 2008 impor jeruk mencapai 143,6 ton senilai 124 juta dolar AS atau meningkat sekitar 20,92% jika dibandingkan dengan 2007 yang mencapai 118,8 ton senilai 98 juta dolar AS[2].

Produk pertanian utama impor Indonesia adalah dari kelompok subsectorhortikultura, seperti bawang putih dengan pangsa tertinggi (25,46 persen), disusul buah-buahan terutama buah apel, pir, dan jeruk yang tentu saja termasukpenyumbang devisa bagi pemerintah China. Komoditas lain yang diimpor Indonesia adalah bahan olahan dari karet, gula dan lain-lain. Namun, komoditas impor yang dominan adalah produk primer dan sebenarnya  adalah juga komoditas yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia, kecuali barangkali bawang putih dan pir, di mana bawang putih hanya tumbuh sangat baik di daerah dengan elevasi tinggi dan kering[6]

Peralihan ke KPB menyebabkan impor Indonesia dari kawasan  ASEAN atas berbagai produk meningkat tajam. Nilai impor Indonesia pada masa pra KPB ASEANlebih kecil dibanding pada masa pasca KPB ASEAN. Pada masa pasca KPB ASEAN. impor jeruk mandarin meningkat sebesar 76,40 persen setiap tahunnya, diikuti oleh komoditas bawang putih (73,67 persen), tembakau jenis virginia (40 persen) dan buah jeruk (15,07 persen)[6]

Saat ini harga jeruk lokal di tingkat konsumen mencapai Rp 9000/kg, sedangkan harga jeruk impor dari cina Rp 9500/kg sampai Rp 10000/kg. Harga antara jeruk lokal dan jeruk impor berbeda tipis, yakni hanya Rp 500 sampai Rp 1000. Perbedaan harga yang tipis ini tidak sebanding dengan perbedaan buah jeruk lokal dan buah jeruk impor, baik dari segi mutu, penampilan dan cita rasanya. Selain tidak seragam jeruk siam juga memiliki penampilan buah yang burik dan kusam seta rasanya yang agak masam, sehingga jeruk siam kurang dapat memikat minat konsumen. Lain halnya denagn penampilan jeruk impor yang memang benar-benar berwarna orange mengkilat dengan rasa yang manis, yang tentunya konsumen akan lebih cenderung tertarik pada jeruk impor dibandingkan dengan jeruk lokal dengan selisih harga yang tipis.

Rp 9000/kg merupakan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Harga ditingkat petani jauh lebih rendah, harga yang diterima  petani sekitar 40% dari harga yang dibayarkan konsumen yakni berkisar Rp 3000/kg sampai Rp 3500/kg. Rendahnya harga ditingkat petani dipegaruhi banyak faktor, salah satunya adalah lemahnya posisi tawar petani sehingga harga tersebut masih belum bisa menutupi biaya yang dikeluarkan petani. Hal itu diperparah dengan adanya persaingan dengan jeruk impor, yang mana jeruk lokal tidak bisa menarik konsumen, sehingga konsumen lebih banyak memilih untuk mengkonsumsi jeruk impor dibanding jeruk lokal. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya globalisasi yang menyebabkan persaingan dengan jeruk impor menyebabkan berkurangnya penerimaan petani, sedangkan biaya yang dikeluarkan tetap, sehingga pendapatan petani pun menurun.  

4.2 Peran Pemerintah Dalam Melindungi Petani Jeruk Siam Di Era Globalisasi
Secara umum, tingkat pengelolaan kebun jeruk di daerah sentra produksi oleh petani sangat bervariasi, belum optimal dan belum sepenuhnya menerapkan inovasi teknologi anjuran hasil penelitian. Oleh karena itu walaupun produktivitasnya tidak terlalu rendah, namun mutu buah yang dihasilkan tidak memuaskan, yaitu selain tidak seragam juga memiliki penampilan buah yang burik dan kusam. Bahkan kondisi buah ini juga diperburuk dengan perlakuan pasca panen yang sekedarnya sehingga buah jeruk kita tidak memiliki daya saing pasar yang kuat baik sebagai substitusi impor maupun untuk ekspor. Dari sisi kelembagaan petani tampaknya masih sangat lemah sehingga dalam pemasaran jeruk tidak memiliki posisi tawar yang kuat dan cenderung sering merugikan petani. Proses diseminasi inovasi teknologi dan transfer teknologi ke petani berlangsung sangat lambat. Di sisi lain, petani secara individual maupun kelompok juga masih sulit untuk mengakses lembaga permodalan yang ada walaupun sudah mulai banyak yang ditawarkan oleh pemerintah.

Globalisasi merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari oleh satu negara  manapun di dunia. Dalam proses ini, batas-batas negara menjadi luluh (borderless) dengan salah satu cirinya adalah meningkatnya persaingan bebas. Di dalam persaingan bebas hanya negara-negara yang memiliki daya saing saja yang bisa mengambil keuntungan. Saat ini peraturan-peraturan yang terkait dengan tarif menjadi tidak populer lagi dan tidak digunakan sebagai hambatan dalam sistem perdagangan internasional. Oleh sebab itu kebanyakan negara-negara majumenggunakan hambatan non tarif  seperti, SPS (Sanitary and Phytosanitary), ROO (Rules of Origin), dan standar internasional (Codex, Europe-Gap, Asean Standard), CBD (Convetion on Biodiversity), CDM (Clean Development Mechanism), Protokol Kyoto, Internatinal Threaty of Genetic Resources. Dengan adanya hambatan yang berupa non tarif tersebut, produk hortikultura Indonesia mengalami hambatan dalam mengakses pasar internasional dan Kesulitan dalam mengendalikan masuknya produk-produk impor.

Untuk itu perlu upaya-upaya dalam negeri yang yang merupakan integrasi dari pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, peneliti, penggemar (hobbyist), dan masyarakat umum untuk dapat meningkatkan daya saing produk hortikultura Indonesia. Adapun upaya-upaya yang harus dilakukan untuk melindungi petani hortikultura, khususnya petani jeruk siam adalah sebagai berikut:

a.         Undang-Undang Hortikultura
Salah satu aspek penting yang mempengaruhi kinerja agribisnis hortikultura adalah belum tersedianya peraturan perundangan yang khusus mengatur pembangunan subsektor hortikultura secara komprehensif dan sistematis. Saat ini berbagai kalangan pelaku agribisnis hortikultura mengeluhkan, bahwa peraturan-perundangan yang  ada belum berpihak pada pembangunan subsektor hortikultura khususnya dalam menghadapi kondisi pasar bebas yang serba kompetitif. 

Untuk mengoptimalkan potensi hortikultura nasional diperlukan arah dan kebijakan pengembangan hortikultura secara holistik dan terpadu,  dengan melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi, peneliti, penggemar (hobbyist), dan masyarakat umum. Oleh karena itu, pengembangan sistem dan usaha hortikultura dari hulu sampai hilir memerlukan pengaturan yang komprehensif dan sistematis untuk menciptakan peraturan yang kondusif bagi pengembangan hortikultura yang berdaya saing serta mampu memberi kontribusi lebih bagi pendapatan masyarakat secara keseluruhan.

Saat ini Indonesia mengalami kesulitan dalam mengendalikan masuknya produk-produk impor, khususnya buah-buahan. Hal ini dikarenakan salah satu penyebabnya adalah tidak adanya peraturan khusus tentang batasan impor hortikultura di negara kita. Sehingga buah-buah impor yang masuk ke indonesia tidak dapat dikendalikan, apalagi setelah adanya penurunan tarif impor secara bertahap.

b.         Revitalisasi Industri Bibit Jeruk
Hingga kini produk hortikultura masih sulit bersaing untuk memasuki pasar ekspor disebabkan masalah kualitas, produktivitas, kuntinuitas pasokan, tingginya harga, tingginya kerusakan dan biaya dalam pengangkutan, pemenuhan persyaratan SPS/WTO serta kondisi sosial politik di dalam negeri yang belum sepenuhnya kondusif.  Banyak faktor yg menyebabkan rendahnya produktivitas dan mutu produk hortikultura kita, salah satu yg sangat penting adalah rendahnya penggunaan bibitbermutu varietas unggul. Ketersediaan benih bermutu dibandingkan dengan kebutuhan benih bermutu varietas unggul (data 2006-2007) masih sangat rendah, yaitu untuk buah-buahan hanya 4,0-9,7 %, sayuran 4,2-6,7 %, tanaman hias 5,3-
9,2 % dan biofarmaka sekitar 5,0%. Benih yg tersediapun belum sepenuhnya dimanfaatkan petani karena daya beli yg rendah.

Usaha perbenihan dilakukan melalui upaya pemuliaan untuk menghasilkan varietas, perbanyakan materi tumbuhan, dan/atau introduksi dari luar negeri. Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat profesi dan/atau sertifikat kompetensi, atau badan usaha yang terakreditasi dalam bidang perbenihan. Ketentuan sertifikat profesi, sertifikat kompetensi, dan/atau akreditasi badan usaha dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok.

c.          Pengembangan Sistem Informasi
Pengembangan sistem informasi juga tidak bisa dilepaskan dalam upaya modernisasi hortikultura di sentra produksi. Pengembangan ini menyangkut peningkatan kemampuan dan pemantauan, pengendalian dan pelaporan pelaksanaan berbasis sistem informasi geografis, agar dapat diketahui perkembangan pelaksanaan secara tepat arah, tepat sasaran dan tepat tujuan. Dengan adanya sistem informasi geografi, maka dapat diperoleh informasi valid berkaitan dengan produksi hortikultura, sehingga produksi yang dihasilkan dalam setiap aktivitas hortikultura dapat selalu siap berkompetisi dengan produk serupa dari wilayah lain. Di samping itu, sistem ini juga mampu memberikan data akurat mengenai pergerakan produk-produk hortikultura di pasar nasional dan internasional, dinamika cuaca dalam musim produksi, distribusi serangan hama penyakit yang terkait dengan produk yang diusahakan. Oleh karena itu, maka hasil maksimal dari sektor hortikultura bisa diperoleh. Tujuan pendirian pusat sistem informasi ini adalah untuk mendekatkan layanan sumber inovasi teknologi jeruk kepada petani dan pelaku agribisnis lainnya dan mempercepat proses diseminasi dan alih inovasi teknologi hasil penelitian ke pihak pengguna.

Hingga kini belum ada jaringan informasi khusus tentang perjerukan nasional yang bisa memberikan informasi lengkap yang diperlukan bagi pelaku atau calon pelaku agribisnis jeruk. Informasi tentang  periode panen yang berubah setiap tahun karena musim, prediksi produksi dan proporsi kelas/ grade buah yang akan dihasilkan, harga dan informasi penting lainnya perlu dihimpun dari seluruh sentra agribisnis (utama) secara periodik dan kemudian setelah secepatnya diolah bisa diakses oleh seluruh pelaku agribisnis dan masyarakat jeruk di Indonesia.

d.         Pengembangan Infrastruktur
Pembangunan fisik selama ini selalu diorientasikan di kota, sehingga perlu dikembangkan pembangunan infrastruktur desa yang tidak kalah dengan kota. Infrastruktur ini antara lain: jalan raya, telepon, listrik, pendidikan (dengan memperhatikan pula suprastruktur pendidikan sehingga bisa menghasilkan SDM berkualitas), internet, jaringan irigasi, dan fasilitas pemasaran seperti pelabuhan. Yang perlu diingat, pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan ini bersifat jangka panjang. Infrastruktur ini sangat penting dalam peningkatan pemasaran hasil-hasil hortikultura dan industri lokal dalam tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Selain itu perlu dikembangkan pula integrasi transportasi dengan daerah lain sehingga dapat memperlacar penyaluran hasil-hasil produksi.

e.          Pembangunan Pabrik Pengolahan
Salah satu ciri dari komoditas pertanian adalah sifatnya yang musiman. Hal ini sangat merugikan petani karena saat musim panen ketersediaan melimpah yang diikuti turunnya harga buah jeruk terutama akan terjadi di sentra produksi utama jeruk Siam, yaitu di Sumatera Utara, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Pembangunan pabrik olahan jeruk baik berskala rumah tangga maupun industri perlu dilakukan untuk  menampung kelebihan produksi buah jeruk baik dari kebun skala besar maupun kecil. Untuk kebun jeruk siam skala besar diharapkan memiliki bangsal pengemasan (packing house) yang relatif modern dengan kegiatan meliputi sortasi, pencucian, pembersihan buah dengan detergen khusus, pengeringan, pelapisan lilin, kadang juga pelabelan stiker di buah, pengkelasan buah (grading) dan pengemasan.

f.        Kelembagaan Usaha
Pemberdayaan kelembagaan petani perlu mendapatkan perhatian semestinya karena selain dapat mempercepat proses alih teknologi anjuran spesifik lokasi secara utuh, juga mampu meningkatkan posisi tawar petani utamanya dalam segi pemasaran, akses permodalan dan informasi. Kelembagaan usaha di tingkat petani (Poktan, Gapoktan, Koperasi Tani dll) maupun kelembagaan usaha di tingkat pengusaha/swasta (pedagang pengumpul, pedagang besar, pengecer, distributor, eksporter/importer, industri rumahan dll) kondisinya sangat lemah.  Kerjasama horisontal maupun vertikal antar kelembagaan usaha petani, antar kelembagaan pengusaha/swasta dan antara kelembagaan usaha petani dengan pengusaha/swasta belum berjalan dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan manajemen rantai pasokan hortikultura tidak berjalan dengan semestinya.

Dampak dari lemahnya manajemen rantai pasokan  (supply Chain Management/ SCM) hortikultura antara lain tercermin  pada harga hortikultura yang sangatfluktuatif dalam jangka waktu sangat pendek dan distribusi keuntungan yang tidak proporsional lebih merugikan petani atau konsumen (harga yang diterima  petani sekitar 40% dari harga yang dibayarkan konsumen). Hal ini sudah terjadi berpuluh bahkan beratus tahun  sehingga dianggap normal, padahal merupakan masalah latent yang perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya.

Nilai tambah desa dapat dikembangkan dengan adanya koperasi agribisnis yang merupakan organisasi bisnis petani. Mekanisme ini difokuskan pada komoditas tertentu yang menjadi core business sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing daerah. Hal ini kemudian dilanjutkan pada inovasi yang mendukung ekonomi berbasis IPTEK sehingga produk-produk agribisnis hortikultura yang dihasilkan akan bergeser dari produk yang bersifat unskilled and natural resources intensive ke produk skilled labour and capital intensive kemudian produk skilled labour and knowledge intensive. Dalam pelaksanaan agribisnis ini, meskipun hortikultura menjadi sektor komersial, tetapi harus tetap memperhatikan kualitas produk baik untuk konsumsi sendiri ataupun sebagai produk ekspor. Ini penting agar ketahanan pangan tetap terjamin dan produk tetap bisa bersaing dalam tataran domestik atau luar negeri.

g.         Mempermudah Akses Lembaga Permodalan
Penyebab rendahnya daya saing produk hortikultura juga disebabkan modal rendah yang dimiliki pelaku usaha hortikultura, khususnya usaha hortikultura skala kecil yang mayoritas jumlahnya. Untuk memperoleh tambahan modal, seringkali usaha hortikultura yang padat modal masih sulit mendapat suntikan dana dari lembaga keuangan dalam negeri, mengingat sektor ini cenderung tidak bankable.

Mayoritas petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari 1 ha sehingga petani kesulitan dalam mendapatkan kredit untuk usaha taninya. Hal itu disebabkan karena besarnya biaya yang diajukan tidak sesuai dengan agunan yang dimiliki, sehingga lembaga permodalan/perbankan tidak menyetujui proses permohonan kredit tersebut. Sebenarnya hal ini dapat diatasi dengan konsolidasi lahan. Konsolidasi lahan dilakukan dengan cara mengabungkan kebun-kebun jeruk yang memiliki luasan minimal kurang dari satu hektar menjadi satu kelompok yang dikoordinasi oleh satu orang yang bertindak sebagai ketua. Setelah konsolidasi lahan berhasil dilakukan, maka ketua tersebut akan lebih mudah mendapatkan kredit dari lembaga permodalan. Kredit yang didapat dari lembaga permodalan digunakan untuk modal awal usaha tani jeruk siam, jadi petani jeruk siam dapat mengembalikan kredit pinjaman usaha mereka sedikit demi sedikit. Sebagian laba yang didapat dari usahanya digunakan untuk membeli alat dan mesin yang dibutuhkan untuk proses pengelolaan pasca panen secara bertahap, seperti bangsal pengemasan (packing house) yang relatif modern dengan kegiatan meliputi sortasi, pencucian, pembersihan buah dengan detergen khusus, pengeringan, pelapisan lilin, kadang juga pelabelan stiker di buah, pengkelasan buah (grading) dan pengemasan. maka lama kelamaan asosiasi ini akan menjadi mandiri.  

h.         Peningkatan Sumber daya manusia
Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban meningkatkan keahlian dan keterampilan pelaku usaha melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan untuk memenuhi standar kompetensi melalui sertifikasi kompetensi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Saat ini belum ada PPL yang secara khusus menangani permasalahan agribisnis jeruk, sehingga fungsi penyuluhan untuk kegiatan usahatani jeruk dirasakan masih belum optimal dengan alasan struktur organisasi (keberadaan instansi pembina PPL di luar Deptan). Untuk membantu pengembangan sumber daya manusia hortikultura, maka pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk menyediakan minimal satu orang tenaga penyuluh pegawai negeri sipil di bidang hortikultura di setiap desa yang termasuk di dalam kawasan hortikultura. Pemerintah daerah juga berkewajiban melakukan pembinaan minimal satu orang tenaga penyuluh hortikultura swasta ataupun swadaya di setiap desa di kawasan hortikultura. Tenaga penyuluh swasta ini merupakan tenaga penyuluh yang disediakan oleh pihak swasta dan lembaga yang mempunyai kompetensi dibidang penyuluhan hortikultura. Sedangkan tenaga penyuluh swadaya merupakan penyuluh yang disediakan secara swadaya oleh masyarakat.

Usaha pembinaan yang dilakukan tidaknya meliputi proses produksi, namun juga pada penanganan panen dan pasca panen serta pada usaha pengolahan. Panen dan pascapanen adalah kegiatan lanjutan dari usaha budi daya yang berpengaruh terhadap kualitas produk hortikultura segar. Untuk memperoleh hasil produk hortikultura segar yang memenuhi standar mutu produk hortikultura, maka perlu dibuat pedoman mengenai bagaimana panen harus dilakukan. Karena panen harus dilakukan secara tepat waktu, tepat keadaan, tepat cara, dan tepat sarana agar diperoleh hasil yang optimal, menekan kehilangan dan kerusakan hasil, dan menjamin terpenuhinya standar mutu sesuai standar yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pembinaan pada usaha pengolahan produk hortikultura diperlukan agar usaha-usaha pengolahan memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberlakuan standar mutu dalam usaha pengolahan ini tidak hanya terhadap produk dari hasil pengolahan saja, tetapi juga pada proses dalam pengolahan produk hortikultura. Untuk melindungi usaha pengolahan lokal mikro dan kecil maka pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan pembinaan terhadap mereka agar mereka juga pada akhirnya dapat memenuhi standar yang ditetapkan dalam usaha pengolahan ini.

i.           Penetapan Kawasan Hortikultura
Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan kawasan dan produk unggulan hortikultura yang akan dikembangkan. Penetapan kawasan hortikultura dilakukan dengan memperhatikan sumber daya hortikulutra, potensi unggulan yang  akan dikembangkan, potensi pasar, kesiapan dan dukungan masyarakat, serta kekhususan dari wilayah. Penetapan produk unggulan dilakukan dengan memperhatikan kearifan lokal dan daya saing dari produk tersebut. Juga memperhatikan rencana tata ruang baik di tingkat nasional, provinsi, ataupun kabupaten/kota. Kawasan hortikultura ada di tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. Penetapan kawasan hortikultura dikembangkan untuk mewujudkan produk unggulan hortikultura dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

j.           Motivasi
Untuk mendorong para pelaku usaha memenuhi standar mutu dan keamanan pangan sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan pemerintah, maka pemerintah memberikan fasilitasi dan insentif. Pemberian fasilitasi ataupun insentif diutamakan untuk usaha hortikultura mikro dan kecil, usaha hortikultura yang ramah lingkungan, usaha hortikultura yang mengembangkan komoditas unggulan nasional dan daerah, usaha budi daya hortikultura secara organik, dan usaha hortikultura yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan. Bentuk fasilitasi dapat bermacam-macam, antara lain kemudahan perizinan, pemanfaatan lahan, penjaminan, akses permodalan, pemasaran, kemudahan kerjasama/kemitraan. Sedangkan bentuk insentifnya dapat berupa keringanan pajak dan retribusi, peningkatan kualitas prasarana hortikultura, bantuan pembiayaan penerbitan sertifikasi, penghargaan, keringanan biaya penerbitan sertifikat tanah, khususnya untuk usahhortikultura mikro dan kecil.  

k.         Mekanisme Perlindungan (safety guard mechanism)
Indonesia dapat mengajukan 14 item produk sektor pertanian yang dapatdikeluarkan dari perjanjian perdagangan bebas apabila dinilai ada sektor-sektortersebut mengalami kerugian atau apabila dirasa harga yang berlaku terlalu murah. Jika dinilai pasar bebas ini akan merugikan banyak pihak, terutama petani karena sebagian besar masyarakat indonesia bermatapencaharian dibidang pertanian, maka jeruk dapat diajukan dalam mekanisme perlindungan pada ACFTA, seperti halnya beras dan gula pada perjanjian WTO.

5. SIMPULAN
5.1 Simpulan
1.     Dampak globalisasi terhadap pendapatan petani jeruk siam adalah globalisasi menurunkan pendapatan petani jeruk siam
2.     upaya-upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing petani jeruk siam adalah:
a.     undang-undang hortikultura
b.     revitalisasi industri bibit jeruk
c.     pembangunan pabrik pengolahan
d.     pengembangan infrastruktur
e.     pengembangan sistem informasi
f.      kelembagaan usaha
g.     peningkatan sumber daya manusia
h.     mempermudah akses lembaga permodalan
i.       penetapan kawasan hortikultura
j.      motivasi
k.     mekanisme perlindungan (safety guard mechanism)

5.2 Rekomendasi
1.    Diharapkan masyarakat mencintai produk dalam  negeri, sehingga akan mengurangi impor dari negara lain dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.
2.      Diharapkan adanya integrasi antara pemeritah, pelajar, petani, dan masyarakat secara luas untuk merealisasikan upaya-uapaya untuk meningkatkan kualitas daya saing petani, khususnya petani jeruk siam.

KEPUSTAKAAN
[1].     Amri, Asnil Bambani. 2009. Impor Jeruk Mandarin Terus meningkat.http://industri.kontan.co.id/v2/rubrik/komoditas . 11 Maret 2011.
[2].     Anonim. 2011. Lawan Serbuan Impor, Jeruk dan Duren Dikenai SNI.http://agro.agroprima.com. 11 Maret 2011.
[3].     Ardhian, David. 2011. Salah Arah (Lagi) Kebijakan Pangan. http://http://deardhian4u.files.wordpress.com. 11 Maret 2011.
[4].     Djojodipuro, Marsudi. 1991. Teori Harga. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
[5].     Dwi, Arifin. 2008. Mekanisasi Pertanian. http://mekanisasi-pertanian.blogspot.com. 19 Oktober 2009.
[6].   Hutabarat Budiman. 2007. Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-China dan Kerjasama AFTA serta Dampaknya Terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. http://hortikultura.deptan.go.id
[7].     Krugman, Paul R dan Maurice Obstfeld. 2003. Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[8].     Komisi IV, Dewan Perwakilan Rakayat Indonesia. 2010. Naskah akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Hortikultura.
[9].     Lukita. 2002. Visi Indonesia 2020. http://www.bappenas.go.id. 07 Oktober 2008.
[10].  Mosher, A.T , 1981, Menciptakan Struktur Pedesaan yang Progresif, Yasaguna, Jakarta.
[11].  Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.
[12].  Pertanian, Bahan Penelitian dan Pengembangan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jeruk.  
[13].  Pranolo, Tito. 2001. “Pangan, Ketahanan Pangan dan Liberalisasi Perdagangan”,Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
[14].  Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. 2002. Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
[15].  Rahim, A dan Hastuti, Diah retno Dwi. 2007. Ekonomi Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya.
[16].  Soemodihardjo, Idha Haryanto. 1995. Harga-harga Produk Pertanian. Jember: Fakultas Pertanian Universitas Jember.
[17].  Soetriono. 2006. Ilmu Pertanian. Bayu Media : Malang.
[18].  Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[19].  Tambunan, Tulus et al. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu PentingJakarta: Ghalia Indonesia.

UCAPAN TERIMAKASIH
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tulisan yang berjudul“Pengaruh Globalisasi Dan Upaya Pemerintah Dalam Melindungi Petani Jeruk Siamdengan baik. Tugas Mata Kuliah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Kapita Selekta Agribisnis pada Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jember. Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen pembimbing yakni Prof. Dr. Ir. Soetriono, MP. yang telah banyak memberikan bimbingannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik
Sumber :  http://mbem25.blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html