...Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H.... Mohon maaf lahir dan batin...

Kamis, 31 Mei 2012

Jeruk Lokal vs Jeruk Impor, Potret Jeruk Indonesia


Jeruk Lokal vs Jeruk Impor, Potret Jeruk Indonesia

Ibarat banjir bandang, begitulah jeruk impor menyerbu tanah air. Enam tahun silam ponkan dan tankan asal taiwan yang menantang jeruk dalam negeri. Kini, nama para pendatang itu kian banyak: sekadar contoh lokam, santang, kimkit, dan unshui. Di tengah serbuan mereka frimong produksi kebun yang tersebar di jawa barat mulai unjuk gigi. Jeruk asli australia itu mulai bersaing dengan para pendatang baru berkat rutinitas panen.



Bagai David melawan Goliath, frimong dari sebuah kebun di Tapos, Kabupaten Bogor, masuk ke pasar swalayan dan toko buah modern di Jakarta setiap 2 – 3 hari. ‘Seminggu rata-rata dipetik 3 ton frimong. Kami kewalahan melayani pembeli,’ kata I Made Soewecha, pengelola kebun Tapos. Di kebun itu jeruk kualitas AB (sekilo isi 8 – 10 buah) dibandrol Rp10.000 – Rp12.000 per kg.

Pasokan itu memang masih sangat sedikit dibanding devisa yang keluar untuk mendatangkan jeruk. Pada 2007 tercatat kedatangan 118.808 ton jeruk senilai U$83,16-juta setara Rp831,6-miliar. Sejumlah 80% jeruk itu berasal dari China. Pengiriman tertinggi dari negara Tirai Bambu itu berlangsung pada Januari – Maret dengan volume di atas 10.000 ton. Sisanya dipasok 16 negara lain seperti Thailand, Argentina, Pakistan, dan Australia.

Frimong sanggup bersaing dengan jeruk impor lantaran kulit buahnya jingga merata dengan rasa manis asam, mirip yang impor. Menurut Ir A Widodo Heru MSc, kepala seksi Teknologi Tanaman Perdu, Direktorat Budidaya Tanaman Buah Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian, karakter frimong unik: berbuah umur 1,8 tahun dan bisa panen sepanjang tahun. Karakternya mirip siam yang berbuah tanpa musim, padahal frimong termasuk kelompok jeruk keprok Citrus reticulata.
Sebelum era frimong, jeruk impor hanya bersaing dengan jeruk siam Citrus nobilis yang mendominasi 80% produksi jeruk nasional. Penampilan siam yang berkulit hijau, berbiji banyak, dan sulit dikupas tentu saja asor daripada keprok berkulit kuning, minim biji, dan mudah dibuka.

Meskipun jumlah jeruk impor itu hanya 4,6% ketimbang produksi jeruk nasional yang mencapai 2,5-juta ton per tahun, ‘Mereka terlihat dominan karena dipajang di pasar swalayan dan pasar buah modern,’ papar Ir Winny Dian Wibawa MSc, direktur Direktorat Budidaya Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian RI.

Adaptif

Ir Arry Supriyanto MS, kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Kalimantan Barat, mengatakan di antara jeruk impor yang masuk ke Indonesia, frimong tergolong adaptif tumbuh di Indonesia. Tanpa perlakuan khusus – di dataran tinggi – warna jingga yang seragam keluar. ‘Diduga ia silangan keprok dengan jeruk manis,’ tutur mantan kepala Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) itu.

Nun di Lembang, Kabupaten Bandung, ada Barokah dan Dedi Mulyana yang mengikuti jejak Made. Barokah digaet seorang kepala rumahsakit swasta di Bandung menanam 1.500 frimong di lahan seluas 2 ha pada April 2004. Tiga tahun berselang, pada 2007 – 2008, ayah 3 anak itu memanen 30 ton frimong. Itu hasil panen 2,5 ton per minggu saat panen raya Mei dan Juni, ditambah panen 250 kg per minggu di luar musim. ‘Periode 2008 – 2009 jumlah panen meningkat 37 ton per tahun,’ kata Barokah.

Sedangkan Dedi membuka kebun frimong seluas 3,5 ha. Di lahan di ketinggian 1.100 m dpl itu Dedi menanam 2.400 frimong dengan jarak tanam 3 m x 5 m pada Januari 2005. Panen perdana pada April 2008 dipetik 12 ton. Pada 2009 hingga akhir tahun diperkirakan dipanen 20 ton. Semua hasil panen diboyong rekan Dedi yang memiliki jaringan toko buah di Jakarta.

Sudah menancap

Jeruk introduksi lain pun sebetulnya mulai dikebunkan. Sebut saja Sutjipto Gunawan di Batu, Jawa Timur, yang mengebunkan jeruk conmune asal Eropa. Dari 600 tanaman yang ditanam pada 2002 setiap tahun dipanen 45 kg per pohon. Bedanya conmune tak serajin frimong yang bisa dipanen sepanjang tahun. ‘Paling banter setahun dipanen 3 bulan,’ kata Sutjipto. Conmune dipetik pada Mei, Juni, dan Juli.

Menurut Rahmat Hartono SPMP, staf pengajar ekonomi pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, maraknya pekebun lokal menanam jeruk introduksi dapat dipahami. ‘Brand jeruk impor sudah menancap di konsumen sehingga mereka kelak tak kesulitan memasarkan hasil kebun. Persoalannya, mereka hanya mampu menembus pasar bila kualitas rasa dan penampilan setara dengan jeruk impor,’ tutur Rahmat.

Itu seperti kasus durian monthong atau mangga introduksi – chokanan dan erwin – yang kini marak dikebunkan dan dipasarkan dengan label impor. Buktinya dengan kualitas setara impor, hasil kebun mereka bisa diterima dan diakui pasar lebih segar. Toh, menurut Rahmat, pekebun yang berniat mengebunkan jeruk introduksi mesti bersiap berspekulasi. ‘Tak semua jeruk introduksi cocok dikebunkan di tanahair. Butuh trial and error dengan biaya lebih tinggi,’ ujar master pemasaran pertanian dari Universitas Brawijaya itu.

Keprok lokal

Sebetulnya tak hanya frimong yang berpeluang dikebunkan. Indonesia memiliki 18 keprok lokal yang keunggulannya sudah diakui secara nasional. ‘Sebanyak 90% jeruk yang diimpor tergolong jeruk mandarin alias keprok. Karena itu hanya keprok yang bisa menyaingi jeruk introduksi di pasar swalayan,’ tutur Winny. Jeruk siam tak bisa diandalkan menyaingi jeruk impor karena rasa dan penampilannya beda. Lagipula bagi pekebun kurang menarik sebab harganya jatuh, di bawah Rp3.500 per kg di tingkat pekebun.

Sebut saja keprok garut, batu 55, gayo, dan soe. Yang paling top keprok soe asal Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Keprok asal ketinggian 800 – 1.200 m dpl itu warnanya secara alami ngejreng: jingga mengkilap dan seragam. Jauh lebih menarik ketimbang jeruk impor. Rasanya manis dan segar.

‘Bila kualitas keprok bisa seragam dan pasokan kontinu, pasar modern siap menerima keprok. Kami betul-betul kekurangan buah lokal,’ tutur Zoilus Sitepu, national specialist for fruit and vegetable Hypermart. Dari total buah impor yang masuk ke Indonesia, jeruk berada di posisi ke-2 (30%) di bawah apel yang mencapai 50%. Artinya, serapan jeruk benar-benar besar. Sayang, soe belum dikebunkan secara komersial. Ia masih ditanam secara tradisional di pekarangan warga.

Garut

Yang sudah ramai dikebunkan sejak 7 tahun terakhir ialah keprok garut dan batu 55. Di Samarang, Garut, Jawa Barat, ada H Entang Syahid – bersama anggota kelompok tani – yang mengebunkan 8 ha keprok garut. Lahan pribadi Entang hanya 0,5 ha. ‘Kami tanam keprok karena harganya 2 – 3 kali lipat ketimbang siam,’ kata pensiunan pegawai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kabupaten Garut itu. Harga siam grade AB (sekilo isi 8 – 10 buah) hanya Rp3.500 per kg.

Sedangkan keprok grade AB (sekilo isi 6 – 8 buah) hampir 3 kali lipat, Rp12.000 – Rp13.000 per kg.
Masih di Samarang, H Azizi menanam 500 keprok garut 5 tahun silam. Itu untuk mengganti 200 keprok miliknya yang sudah tak produktif. Garut pada tahun 1960-an memang dikenal sebagai salah satu sentra keprok. Dari lahan itu di tahun ke-3 Azizi memanen 3 ton; tahun ke-4, 4 ton; dan pada 2009 hingga Juni dipetik 5 ton.

Menurut Winny, pengembangan keprok garut menjadi percontohan program keprokisasi di tanahair yang penanamannya dimulai 2009. ‘Kami menyeleksi tanaman jeruk yang masih bertahan dari serangan Citrus Vein Phloem Degeneration (CPVD). Mencari yang kualitasnya unggul, lalu membersihkannya (dengan teknik indeksing, red) dan menyebarkan lagi secara terkontrol ke calon pekebun,’ ujar master ilmu tanah dari Nort Dakota State University, Amerika Serikat. Pada 2008 jumlah tegakan jeruk di Garut mencapai 542.092 tanaman atau 2 kali lipat ketimbang 2003 yang hanya 252.718 tanaman.

Batu 55

Contoh lain keprokisasi di Jawa Timur ialah batu 55. Direncanakan penanaman batu 55 di Batu seluas 40 ha dan di Malang seluas 50 ha. Penanaman batu 55 itu bakal dimulai pada Desember 2009. ‘Itu untuk mengembalikan kejayaan keprok di Batu,’ kata Agus Sugiyatno, peneliti Balitjestro.

Di Malang keprokisasi dilakukan dengan 2 cara: penanaman baru dan topworking. ‘Pada 1987 banyak sentra tembakau yang beralih ke jeruk manis baby pacitan. Namun, kini harga jeruk manis melorot hanya Rp3.000 per kg. Itulah yang banyak ditopworking,’ kata Heri Yulianto, pegawai penyuluh pertanian di Kabupaten Malang. Yang melakukannya sebut saja Gunawan SE. Alumnus Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang itu menebang 2.000 jeruk manis dan menempelkan mata tunas batu 55 pada 2005. ‘Dengan topworking bisa memangkas waktu panen lebih cepat,’ katanya. Pada umur 2 tahun batu 55 asal topworking sudah berproduksi 20 kg per tanaman. Tahun ke-5 diprediksi produksinya 30 kg.

Menurut Gunawan, batu 55 dipetik pada Mei hingga Agustus 2009. Dari luasan itu ia memetik 40 ton dengan komposisi 30% grade A (sekilo isi 5 – 6 buah), 60% grade B (7 – 8 buah), dan 10% grade C (8 – 10 buah). Harga buah kualitas A di kebun Rp13.500; B, Rp12.500; dan C, Rp11.500 per kg. Dari batu 55 minimal Gunawan meraup omzet Rp460-juta per tahun.

Di luar 18 keprok yang sudah dilepas Departemen Pertanian sebetulnya ada 2 keprok lain yang potensial dikebunkan. Yang pertama keprok lebong yang baru muncul di Pekan Flora dan Flori 2009 di Tangerang. Jeruk hasil panen Estranto Ginting di Rejanglebong, Bengkulu, itu luar biasa. Sosoknya besar-besar. Sekilo isi 3 untuk grade A; isi 3 – 4 grade B; isi 4 – 5 grade C; dan sekilo isi 5 – 7 grade D.

Sosoknya yang di luar ukuran rata-rata itu membuat keprok lebong dibandrol tinggi di kebun. ‘Kami jual langsung ke end user Rp35.000 per kg untuk grade A. Yang termurah grade D laku Rp20.000 per kg,’ tutur pria yang bergelut di disitributor buah-buahan itu. Dari lahan seluas 6 ha – populasi 2.000 tanaman – di ketinggian 700 m dpl itu Ginting memanen rata-rata 200 kg per hari. Buah bisa dipanen hampir sepanjang tahun karena keprok lebong punya karakter khas: buah yang matang 9 bulan dari muncul bunga masih bisa bertahan hingga 14 bulan.

Keprok baru lain yang potensial dikebunkan dan perlu diselamatkan ialah keprok jepara yang tumbuh di dataran rendah kurang dari 400 m dpl. Ia istimewa karena meski dari dataran rendah warna kulitnya kuning mengkilap. (baca: Lebih Banyak Pilihan untuk Dataran Rendah, hal 34 – 35).

Jalan berliku

Tertarik mengebunkan jeruk introduksi atau keprok? Bersiaplah melewati jalan penuh kerikil nan tajam. Sukses Made Soewecha dan Nyoman Sukarata memanen frimong 2 tahun belakangan berawal dari pahit yang dirasakan pada 1992. ‘Ketika itu kami menanam 1.000 frimong. Semuanya hancur, jangankan berbuah, untuk tumbuh saja tak bisa. Kami rugi uang dan waktu,’ tutur Made.

Diduga akar frimong tak mampu tumbuh di lahan dengan lubang tanam hanya berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. ‘Tanah di luar lubang tanam terlalu keras sehingga akar tanaman tak bisa menembus tanah,’ kata Made. Keduanya urung menanam frimong dan beralih ke jeruk manis. Frimong baru ditanam 13 tahun kemudian setelah harga jeruk manis melorot.

Di Lembang, sebuah kebun seluas 10 ha yang ditanam frimong 8 tahun silam, kering kerontang hingga saat ini. Diduga pemupukan kimia yang terlalu intensif membuat tanah menjadi keras. Di Cianjur, kebun frimong yang dibuka 7 tahun silam seluas 150 ha tak lagi terdengar beritanya. Frimong dari kebun itu kering tak berair. Kulit buah tebal dan keriput.

Bertanam keprok lokal pun bukan berarti mudah. Tajib, di Kecamatan Jenangan, Ponorogo, mencoba mengembalikan kejayaan keprok pulung dengan menanam 300 tanaman pada 2006. Tahun lalu ia hanya memanen 8 kg per pohon. ‘Produktivitas rendah karena tanahnya tandus dan berpasir,’ kata ketua Kelompok Tani Saribumi itu. Tajib mencatat pada 1997 pernah dilakukan penanaman keprok pulung seluas 42 ha yang diikuti 110 pekebun. Namun, hanya 15% yang bertahan.

Toh, menurut Winny, beragam kendala yang ditemui pekebun dalam mengembangkan keprok mesti dijadikan tantangan untuk memperbaiki teknologi budidaya. ‘Dengan standar prosedur operasional (SPO) yang ketat, mengebunkan jeruk untuk substitusi impor bukan mimpi di siang bolong,’ tutur Winny. Kelak pada 201, diharapkan luasan dan produksi keprok bisa mencapai 15% – kini8% – dari total luasan jeruk di tanahair. Di gerai-gerai pasar swalayan pun jeruk hasil pekebun lokal bisa bersanding dengan bangga bersama jeruk impor.

(Sumber TRUBUS Edisi Oktober 2009)

Sumber : http://kpricitrus.wordpress.com/2011/12/24/jeruk-lokal-vs-jeruk-impor-potret-jeruk-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar